Ilmu Gathak-gatuk Tentang Kali Majapahit Muslim

Semua hal, pada dasarnya telah ada di dunia dan alam semesta ini, juga di dalam diri. Bahkan hal-hal yang belum ada pun, pasti telah Diberi tanda-tandanya akan kemunculannya. Orang memasak, orang menemukan sesuatu, atau orang yang membuat karya dan menciptakan teori, atau orang yang membuat skripsi, sejatinya hanyalah meramu dari bahan-bahan yang sudah ada itu, hingga menimbulkan suatu rasa atau bentuk yang berbeda dari sesuatu yang sudah ada sebagai bahan-bahannya. Karena itu, di dalam khasanah ilmu orang Jawa, ada yang disebut "Ilmu Gathak-gathuk". Tapi ilmu yang menjadi dasar tak terucap dan tak tercetuskan oleh segala umat manusia, ilmuwan-ilmuwan atau ulamak besar, juga para penemu dan pencipta sesuatu yang bisa dibilang canggih ini, seolah kehilangan harganya atau bisa dibilang, dianggap remeh dan dipandang sebelah mata sebagai ilmu orang tidak terdidik, tak berilmu dan kurang pengetahuan dan pengalaman, atau ilmu orang-orang yang ketinggalan jaman. Hal itu dikarenakan, ilmu ini selama ini tak dilandasi oleh bobot yang memadai secara rasional, bahkan cenderung tidak masuk akal, karena orang-orang yang memegang dan mempertahankan arti penting ilmu ini, cenderung mengandalkan ilmu laduni, juga didapat dengan jalan bertapa dan mencari bisikan gaib, atau menjalankan perilaku-perilaku ritual dan berpuasa atau prihatin. Terus semua yang diperoleh itu, tidak dikoreksi lagi secara rasional dan tidak diteliti secara lebih mendalam atau dicek kebenarannya dalam kehidupan. Kadang, semua itu sudah coba diusahakan, tetapi jangkauan akal, pandangan, ilmu pengetahuan, juga pengalaman yang mengusahakan tetap tidak mampu menjangkau secara keseluruhan dengan detail, bahkan cenderung terpotong-potong dan terputus-putus sangkut-pautnya, karena batasan ruang dan waktu. Makanya, banyak orang tua, orang jawa khususnya, yang cenderung mengandalkan bisikan gaib atau yang disebut wangsit. Mengingat umur jin memang jauh lebih lama dari manusia dan mereka bisa bergerak dengan cepat tak terbatas ruang, ke mana-mana. Tapi yang dilupakan oleh mereka, orang tua kita selama ini adalah bahwa jin adalah keturunan Iblis. Kebanyakan dari mereka cenderung ingin menyesatkan manusia karena sumpah Iblis di hadapan Tuhan Yang Maha Esa atau Allah SWT. Bahkan jikapun mereka baik sekalipun, mereka tetaplah mahluk yang jahil dan suka mempermainkan manusia dengan kata-kata dan perbuatanya.

Salah satu hal, yang jadi bagian ilmu Gathak-gathuk Matuk, adalah soal arti nama. Sepertinya, bukan suatu kebetulan, Kerajaan Majapahit diberi nama Majapahit, yang mana kerajaan itu telah menggoreskan satu perbuatan buruk atau karma buruk menjadi pengkhianat terhadap Raja Jayakatwang dan terhadap pasukan Mongol yang membantunya menaklukkan Jayakatwang, sehingga harus menerima atau menelan buah pahit Majapahit atau Wilwatikta. Meskipun sebenarnya, buah Vilva atau buah Maja rasanya berair dan manis. Terus, karena ada istilah Majapahit, maka buah pahit, yang biasanya disebut buah Blenuk atau Jeruk Itun yang oleh orang Belanda didatangkan dari Afrika disebut sebagai buah Maja. Entah memang benar begitu atau tidak, tapi intinya, nama Majapahit tercetus sebagai satu pertanda bahwa Raden Wijaya beserta para pengikut setianya memang harus menerima sebuah karma buruk atau buah Vilva yang rasanya pahit karena pengkhianatannya. Meskipun nama itu sebenarnya dicetuskan sebagai nama dusun di bekas daerah alas Tarik, karena konon memang di situ banyak ditemukan buah Blenuk yang rasanya pahit. Tapi menurut sejarah buah Blenuk, buah itu baru didatangkan ke Indonesia pada masa penjajahan Belanda sebagaimana buah Asam Jawa. Jadi, masih patut dipertanyakan, apakah benar di alas tarik itu memang banyak ditemukan buah Blenuk. Atau jangan-jangan di alas itu sebenarnya ditemukan banyak buah Vilva atau Wilwa yang rasanya manis dan berair, tapi untuk mengingat perjuangan dan kepahitan para punggawa, pengikut, dan Raden Wijaya sendiri yang harus tunduk sebagai pemimpin padukuhan kecil padahal dia keturunan Ken Arok dan menantu Raja Kertanegara. Tunduknyapun kepada seorang pengkhianat yang membokong mertuanya. Padahal Jayakatwang, sebagai keturunan Tunggul Ametung telah diangkat dan dimulyakan sebagai penguasa Daha atau Kediri, yang termasuk Kadipaten besar dan makmur. Untuk mengingat kepahitan itu, maka buah Vilva atau Maja yang manis dikatakan Tikta atau pahit, sehingga padukuhan baru itu disebut Vilvatikta, Wilwatikta, atau Majapahit.

Lantas, hikmah atau pelajaran apa yang bisa dipetik dari itu di masa sekarang? Bagi generasi sekarang, semua itu pasti hanya dianggap dongeng atau cerita rakyat biasa, meski dari dongeng atau cerita rakyat itu banyak pula hikmah-hikmah kehidupan yang bisa dipetik. Tapi akan kaitannya dengan Ilmu Gathak-gatuk, selain dari nama Majapahit, kita juga patut ingat nama "Demak". Yang bila diplesetkan atau terpeleset lidah, kata Demak bisa jadi "Demek" yang artinya "Buduk". Aslinya dari kata Dhima' bahasa Arab, yang berarti rawa-rawa. Menurut cerita ralyat, Panembahan Jimbun diminta Sunan Ampel, gurunya untuk mencari daerah yang berbau harum sebagai daerah tempat tinggalnya sekaligus yang akan dijadikannya tanah perdikan dari ayahandanya Prabu Brawijaya V. Ternyata yang dipilih adalah daerah rawa yang diberi nama Dhima', Demak, atau Demek pula. Kata Demek itu terlepas dari asal katanya bisa berarti buluk atau buduk, bila tak pandai-pandai melafalkannya. Dan ternyata, dalam tanda kutip, Demak memang subur, karena merupakan rawa-rawa, tetapi Kerajaan Demak, diakui atau tidak, memang cenderung demek, buluk, atau buduk, meskipun yang dibawa atau diusung sebenarnya ajaran suci dari Allah yang disebarkan atau diberitakan oleh Nabi Muhammad SAW, teladan terbaik baik bagi seluruh umat manusia. Tapi yang dilupakan oleh para pendiri kerajaan Demak adalah yang mereka bawa dan pegang sudah bukan ajaran murni dari Allah, khususnya dari Al Quran dan yang diteladankan Nabi Muhammad. Yang mereka pegang adalah ajaran yang sudah mendapat berbagai pengaruh dan telah menjadi buatan orang sebagaimana Pancasila dan UUD 45 murni telah berubah jadi Pendidikan Pancasila dan P4-nya Suharto. Makanya, sejak semula berdirinya, Demak sudah goncang. Kemudian jadi betul-betul Demek dibawah pemerintahan Trenggono, yang ambisius, hingga rela menyingkirkan saudara-saudaranya untuk menduduki tahta. Yang dilakukan Trenggono sudah bukan ajaran Muslim yang menuntun orang dan suatu bangsa untuk mencapai keselamatan atau islam, baik di dunia maupun di akherat. Karena itu, Demak patut dipertanyakan dan diteliti kembali dasar-dasar kemuslimannya. Terlebih, para wali atau sunan di berbagai daerah kekuasaannya yang kedudukannya sama dengan bupati atau wali kota, juga ada yang mengingatkan, kalau agama Muslim yang dipeluk atau dipakai masih bedah atau sobek di samping. Terlebih lagi, ternyata Pajang dan Mataram yang merupakan kerajaan yang mempunyai legitimasi sebagai penerus Demak, ternyata agamanya bukan hanya sobek di pinggir, tetapi sudah sobek-sobek tidak karuan, hingga diingatkan oleh seorang pujangga keratonnya dengan menukil gambaran di serat Jayabaya tentang jaman sedan. Dan sekarang, memang jamannya jaman edan. Orang bicara tentang kebenaran dan hukuman yang pedih bagi para pembelot dari Dharma dengan tertawa dan terpingkal-pingkal, bukan dengan khusyuk dan introspeksi diri. Dalihnya itu dilakukan supaya orang tidak bosan, padahal itu perilaku edan. Kalau masih tidak percaya, bisa ditengok dan diteliti, dari wali-walinya atau orang-orang yang dituakan sebagai pemuka umat, ternyata orang yang paling edan. Orang yang tidak waras dan kurang sempurna akalnya, dikatakan orang yang memiliki keramat dan kesaktian. Bahkan ketidakwarasannya dikatakan karismanya sebagai wali yang nyleneh dan nyentrik.

Terus, hikmah yang lebih mutakhir, adalah soal penggantian ibu kota baru ke Kalimantan Timur. Kalimantan artinya Kali Intan. Artinya Sungai Intan. Di sana memang banyak sungai, juga banyak intannya. Tapi masalahnya arti kata kali bukan sungai dalam Bahasa Melayu. Kalau dalam ucapan orang Betawi, Kali Intan, artinya barangkali intan, tapi bisa jadi bukan. Itu artinya, dengan pindah ke sana, kali bisa memperoleh hasil seperti yang diharapkan, yaitu Indonesia baru yang lebih maju dan bisa mencapai kejayaan. Tapi bisa jadi sebaliknya malah merupakan kemunduran. Namun, itu hanya ilmu Gathak-gathuk mathuk. Untuk kondisi yang sebenarnya Wollohuaklam. Tapi yang jelas dan sudah pasti, arti Kalimantan adalah negara ini, atau Indonesia ini adalah mantan pembuat, penemu, pemilik, dan pemakai Budaya Kali yang pernah membuat bangsa ini jadi besar dengan keragamannya dan disegani di dunia, karena bahkan tentara Mongolpun bisa dipukul mundur. Kalau diraba-raba secara rasional dalam hubungan internasional, bisa jadi, kemenangan Majapahit atas tentara Mongol yang besar dan kuat itulah yang menjadi inspirasi bagi Bangsa Ming untuk bangkit dan mengalahkan Dinasty Yuan atau Dinasty Mongol di Tiongkok. Itu seperti Kali yang berhasil menginspirasi Bruce Lee, hingga menggegerkan dan menggemparkan dunia. Makanya, walaupun bangsa ini hanya mantan pemilik Budaya Kali dan harus belajar ke orang Filiphina, sebaiknya budaya luhur dan adi luhung itu tetap diuri-uri, dipertahankan, dan dikembangkan. Karena Budaya Kali adalah Kita, bangsa Indonesia atau bangsa-bangsa di kepulauan Nusantara yang berhasil mencapai puncak kejayaan dan kegemilangan di masa adanya Empat Serangkai Raja Hayam Wuruk, Adityawarman, Gajahmada, dan seorang ahli kelautan Panglima Nala. Maka dari itu, saya berinisiatif untuk membuat dan menciptakan Budaya Kali model baru yang saya Budaya Kali dan Sendang Majapahit Muslim. Diharapkan, dua corak budaya dengan bentuk dan rasa baru ini, bisa mewakili dan menunjukan jati diri Bangsa Indonesia yang sesungguhnya di masa kini dan seterusnya, bukan di masa lalu saat masih jadi kepulauan Nusantara di bawah Panji Majapahit yang perkasa, karena jaman memang sudah berubah dan akan terus berubah-ubah. Meskipun, tidak bisa dipungkiri juga, kalau bayang-bayang dan pengaruh Majapahit tetap terasa dan tak akan bisa dihapus dari bumi persada ini, maupun di dalam corak pribadi Generasi Merah Putih dan Pasukan Garuda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bencong, Wandu, dan Pasangan Sesama Jenis (LGBT) Dalam Budaya Kali Dan Budaya Sendang Majapahit Muslim

Kali Majapahit Muslim Jurus Lima

Daftar Tokoh Penting Berdirinya NKRI