Kali Majapahit, Escrima, atau Arnis Makin Jaya Dan Membawa Banyak Pengaruh Di Dunia Internasional
Di abad dua puluh ini, Kali Majapahit, Escrima, atau Arnis, semakin membawa pengaruh dan warna yang sangat besar di dunia internasional, karena semakin banyak menghiasi berbagai film-film besar yang menjadi box office dunia. Bahkan film-film Mandarin, yang dulu seolah berdiri sendiri hanya mengangkat Kungfu dan Dim Mak (ilmu totokan), pada dekade-dekade awal abad ini, cenderung semakin kental diwarnai oleh Escrima, Kali Majapahit, atau Arnis sebagaimana film-film Bruce Lee. Karena itu, apabila anak bangsa ini tidak ikut menggunakan, menginovasi, dan mengembangkannya juga, berarti sejarah memang harus terulang kembali. Yang mana, dulu, di jaman Kerajaan Majapahit, di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk beserta tiga tiga tokoh terbesarnya, yaitu Adityawarman, Gajah Mada, dan Panglima Nala, Majapahit sudah bisa membuat meriam tangan yang disebut Cetbang. Tapi kemudian, yang memakai dan mengembangkannya menjadi merian besar, pistol, dan senapan adalah bangsa-bangsa lain. Demikian dengan Kali Majapahit, yang membuat adalah Majapahit, tetapi yang menginovasi dan mengembangkannya adalah bangsa-bangsa lain di seluruh dunia. Jika memang demikian adanya, dan bangsa ini tak mau berubah, dan malah terus terjebak pada beladiri-beladiri yang cenderung tahayul, berbau klenik, dan syirik atau bersekutu dengan jin, maka bukan hanya bangsa ini akan jauh tertinggal, bahkan bisa jadi akan mengalami kehancuran sebagaimana Majapahit ketika ditinggalkan oleh sosok yang paling berpengaruhnya, yaitu sang penguasa Kali dan Sendang Majapahit, Adityawarman. Segala sesuatu, kalau ada kaitannya dengan memanfaatkan atau bekerja sama dengan jin atau mahluk halus, pasti cenderung menghasilkan keuntungan semu yang besar untuk sementara, tetapi kemudian akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran yang jauh lebih parah dan dalam tempo yang sangat panjang. Pengalaman yang dialami bangsa ini, sehingga bangsa ini menjadi bodoh, jahiliyah, dan dijadikan budak atau bangsa terjajah oleh bangsa asing, seharusnya selalu dijadikan pelajaran.
Adapun soal Kali dan Sendang Majapahit, khususnya Kali Majapahit yang jadi topik bahasan kali ini, merupakan satu budaya yang harus dibersihkan dari unsur-unsur klenik atau kerja sama dengan jin, karena Kali dan Sendang merupakan Budaya Tauhid dan Intelektual. Ketika Budaya Kali dan Sendang tidak dibersihkan dari unsur klenik dan kerja sama dengan jin, maka Kali dan Sendang akan menjadi mati dan padam, bahkan bisa jadi bencana bagi kelangsungan hidup umat manusia. Makanya, yang cenderung tertarik, memakai, dan terus mempertahankan dan membesarkan Bela Diri Kali Majapahit adalah para pemuka orang-orang modern, khususnya dalam dunia perfilman. Tapi di jaman modern kemarin, Kali Majapahit, Escrima, atau Arnis hanya menjadi bela diri figuran seperti dalam film Rambo 3, film Best Of The Best Filippe Rhei, juga Film-film Bruce Lee. Namun di masa atau di Era Post Modernisme di abad 20an, Kali Majapahit, Escrima, atau Arnis walaupun hanya jadi bela diri figuran, corak, karakter, dan soul film itu jadi cenderung bernapaskan bela diri Kali Majapahit yang cenderung cepat, mematikan, dan penuh dengan trik dan strategi. Untuk lebih jelasnya, silakan dicek dan diamati dalam film-film yang saya tampilkan di blog ini, dalam sub bab "Kaliwood".
Sementara itu, ketika kita mengamati perfilman Indonesia dewasa ini, film-film action anak negeri ini cenderung jadi film-film komedi, film-film yang patut ditertawakan dengan actionnya yang konyol dan dangkal. Sehingga unsur komedinya jadi tidak kena, actionnya sangat amburadul dan dangkal. Beda sekali dengan film-film Jacky Chan, yang cenderung jadi sangat menarik dan prestisius, karena komedi hanya dijadikan sedikit penghias, sedang actionnya benar-benar matang. Sehingga, terasa tidak jadi film-film kacangan atau terlalu tampak dibuat-buatnya. Tapi memang dari awal film-film lama Jacky Chan memang berkarakter film action comedy. Kalau film comedy action atau film yang cenderung komedi tetapi actionnya tetap dapat satu contohnya adalah film The Masknya Jim Carrey atau Steven Chow, baik kungfu Soccer maupun Kungfu Hustel, juga Kungfu Dunk Jay Chou. Tapi semua film itu memiliki karakter yang sangat kuat, baik dalam unsur komedi maupun unsur actionnya. Meskipun action atau komedinya hanya merupakan penghias, tetapi tetap digarap secara total, betul-betul didasari oleh kemampuan dan keahlian yang mumpuni. Sehingga ketika seorang yang terlihat konyol, ternyata jago bela diri, hal itu jadi tampak paradog dan menggelitik rasa atau decak kagum, yang hal itu merupakan nilai seni tersendiri. Atau sebaliknya, ketika seorang jagoan ternyata bisa bersikap konyol, lucu, ataupun cenderung simpatik dan romantis dalam genre film yang lain, itu juga nilai seni tersendiri. Makanya, film-film itu jadi punya bobot dan terasa menarik untuk dinikmati. Kalau penggarapan soal skill dan keahlian seperti itu digarap serius, apalagi detailnya dapat, maka semakin menarik dan tidak membosankan film itu untuk dinikmati. Contoh penggarapan detail yang bagus adalah seperti di film The Last Samurai, Troy, juga film-film fantasi The Avenggernya Marvel. Dulu, film-filmnya Rhoma Irama, juga bisa menghadirkan satu paradog semacam itu, di mana seorang musisi, orang romantis, ternyata jago betul bela diri. Kalau film-film yang lain, yang cenderung legend, seperti film-film Benyamin Syuaib, film-film Rano Karno, atau film-film Warkop, mereka lebih baik cari jalan aman, tetap pada jalur komedi atau jalur roman tanpa maruk memasuk-masukkan unsur action, karena sudah pasti tidak tergarap karena kurang skill di situ. Dalam beberapa film mereka, sepeti Benyamin yang menggarap film Janggo atau Warkop yang menggarap film Depan Bisa Belakang Bisa, mereka tetap menonjolkan komedinya, di mana di situ mereka berperan sebagai orang tak bisa bela diri, tetapi dihadapkan pada situasi harus berkelahi, sehingga tetap kekonyolannya yang cenderung dishoot dan ditonjolkan. Maka film itu tetap jadi film komedi, bukan film action, comedy action, ataupun action comedy.
Sementara, kalau film-film dewasa ini, cenderung tanggung, memaksakan diri jadi film action comedy seperti punya Jacky Chan atau Comedy Action seperti punya Steven Chow, tapi baik action maupun comedynya digarap setengah-setengah tak disari oleh skill yang memadai, sehingga konsentrasi dan fokusnya pecah, comedynya ngambang, actionnyapun ngambang, actingnya amburadul dan tak berkarakter, Jadinya secara garis besar, film-film Indonesia saat ini membosankan dan tak berkualitas, buang-buang waktu dan biaya, tapi tidak memuaskan. Barangkali, akan ada yang berkata The Raid film Ikko Uways dkk merupakan film box office dunia. Untuk film itu pengecualian, karena film itu digarap sineas atau sutradara luar negeri. Maka sebagaimana film-film luar negeri, penggarapannya fokus menonjolkan action dan pemain-pemainnya pun memang berskill bela diri mumpuni. Orang Indonesia sendiri, tidak bisa menggarap dan berpikir semacam itu. Padahal, sebetulnya sangat berlimpah bahan untuk diangkat di negeri ini.
Jadi, sebetulnya kendala perfilman di Indonesia ini hanya soal kurang fokus dan kurang explorasi terhadap suatu skill dan peranan. Makanya, rata-rata film Indonesia cenderung jadi kacangan dan membosankan. Bahkan kalau diamati dalam perkembangan perfilman akhir-akhir ini, film-film Indonesia seolah jadi film-film yang kurang ide, skill, dan kreatifitas. Banyak film-film yang coba mengangkat film-film legend di masa lalu seperti film Benyamin, film Warkop, juga film Ateng, Naga Bonar, Wiro Sableng, dan nantinya mungkin mereka akan menggarap film Si Doel dengan pemeran selain Rano Karno atau film-film Sophan Sophian dan Widyawati, atau film-film Roy Martin. Di dunia Sinetron saja, sudah ada yang ingin mengulang kesuksesan Roman Picisan dan Pernikahan Dini. Tapi baik film-film garapan ulang atau adaptasi itu, maupun sinetron-sinetronnya, semua gagal dan tetap jauh lebih bagus garapan awalnya. Soal mengadaptasi film-film atau sinetron-sinetron lama, kita patut menengok pada serial-serial China atau Mandarin seperti Trilogi Pendekar Rajawali yang digarap berulang-ulang, tetapi detail dan pernak-perniknya semua dapat. Juga film maupun serial Tree Kingdoms. Yang mana, antara satu garapan dengan garapan yang lain, tetap sama tetapi dengan pernak-pernik yang berbeda dan semua menunjukkan keunikan-keunikan tersendiri. Sehingga, walaupun nonton cerita yang sama, orang tetap tidak bosan, sangat menikmati, bahkan terus tertarik untuk menontonya secara berulang-ulang. Dulu, di Indonesia ini punya film Lupus yang disinetronkan, yang mana antara film dan sinetronnya yang dibintangi Irgi Ahmad Fahrezy sama-sama bagus dan menarik. Yerus juga ada sinetron Mahkota Mayangkara yang digarap ulang jadi Tutur Tinular. Yang mana keduanya juga sama-sama bagus dan garapan ulangnya malah lebih bagus. Kalau Kisah Gunung Merapi adalah contoh yang gagal, karena filmnya tetap lebih bagus.
Jadi sekali lagi, patut dijadikan catatan utama, bahwa kendala dunia perfilman Indonesia adalah karena kurang fokus dan kurang ekplore terutama dalam soal skill. Bisa dibilang juga, karena maunya orang yang instan-instan dan cepat saji. Makanya, kreatifitasnya jadi mandeg dan mati. Tapi bukan hanya itu saja yang menyebabkan kemandegan dan matinya kreatifitas. Kendala utama yang lain, yang ini merupakan sebab sepele, tetapi menjadi sebab utama matinya segala hal, yaitu adanya kecenderungan bangga diri, kesombongan, dan tidak adanya kerendahan hati. Ini adalah penyakit yang sangat kronis. Penyakit ini sama bahayanya dengan syirik bersekutu dengan jin. Kalau orang sudah terkena dua penyakit ini, yang mana bersekutu dan bekerja sama, bahkan sekedar mendekati jin meeupakan syirik besar, kalau kesombongan dan kebanggaan diri merupakan syirik halus bersama penyakit hati yang lain seperti riya' juga iri dan dengki. Baik syirik besar maupun syirik halus, keduanya sama-sama menyebabkan kebodohan dan dicabutNya Petunjuk dan Rahmat Tuhan yang merupakan Sumber dari segala sumber inspirasi dan kreatifitas. Beda antara syirik besar dan syirik halus adalah kalau syirik besar biasanya langsung tampak, cenderung menimbulkan akibat buruk dan penderitaan sesuai kadarnya, kalau syirik halus akibatnya cenderung masive, tetapi sesuai kadarnya juga, karena kalau penyakit hati begitu kronis, sejatinya orang itu sebenarnya juga bersekutu bahkan menghamba pada jin juga tanpa disadarinya.
Lalu, sebab utama yang lain, yang jadi sebab kemandegan dan matinya inspirasi dan kreatifitas adalah kurangnya penghargaan terhadap ide. Jangankan penghargaan, perhatian terhadap ide-ide segar, terobosan-terobosan, dan pembaruan-pembaruan pun, sangat kurang. Giliran ada yang memperhatikan, maunya hanya mencomot dan memakai ide itu, entah itu sedikit dimodifikasi, dijiplak, atau dicomot begitu saja tanpa ada penghargaan terhadap pencetus atau yang melahirkannya. Saya sendiri, sejak bertahun-tahun lalu, telah menemukan satu sistem kecerdasan dan model pengajaran yang komplit. Penemuan saya itu, kini telah dijadikan instansi pendidikan dan sekolah bertaraf internasional secara diam-diam. Tak disangka, karena dinamika kehidupan, saya seperti Digiring untuk mengetahui pencomotan itu. Bahkan saya sempat masuk dan menjadi pegawai di tempat itu. Hasilnya, percayalah pencomotan ide dan penjiplakan semacam itu, hanya akan menghasilkan instansi sampah, yang hanya melahirkan kerusakan, kekeruhan, keruwetan, dan kekotoran yang sudah ada. Biasanya yang seperti itu dikatakan sebagai tak berkah. Karena bagaimanapun, yang betul-betul tahu dan Diberi berkah dan Petunjuk tentang itu dari segala aspeknya adalah yang melahirkan. Yang memikirkan masak-masak sampai sesuatu itu lahir adalah ibunya, karena sesuatu baru bisa lahir setelah dikandung ibunya atau pembuatnya selama beberapa kurun waktu, yang kalau seorang anak selama sembilan bulan menyatu atau dalam kandungan ibunya. Karena itu, sekali lagi, pencomotan dan penjiplakan semacam itu pasti hanya akan menimbulkan penyakit dan sampah, karena tidak akan menimbulkan satu perbaikan, betapapun bagus dan prestisiusnya penemuan itu.
Demikian halnya, atau seperti itu pulalah sejatinya dengan berbagai pencomotan ide dan penjiplakan dalam hal yang lain-lain seperti dalam dunia karya dan seni. Termasuk di dunia perfilman, sastra, dan bidang-bidang yang lain. Entah cepat atau lambat, karya itu mungkin saja bisa mengangkat dan mensukseskan si pencomot dan penjiplak, tapi pasti dia akan menerima derita, kesengsaraan, dan akibat buruk lainnya, sehingga karya itu jadi tak berguna bagi dirinya, bahkan dianggap sebagai sumber petaka bagi dirinya, dan dilupakan atau diabaikan orang. Karena itu, hormatilah hak cipta dan pencetusan ide-ide kreatif serta terobosan-terobosan baru. Ajak pencetus ide itu untuk bekerja sama dalam melahirkan dan menyempurnakan ide-idenya. Atau setidaknya berikan hak-haknya dalam bentuk royalti, supaya daya kreatif dan kreasinya tetap hidup, karena memang sangat jarang orang-orang yang Dikaruniai anugerah kreatif dan sifat kerja keras dalam menemukan dan menyusun sesuatu, karena untuk bisa kreatif dan terus bekerja keras menemukan sesuatu, pasti begitu banyak pengorbanan, celaan, dan berbagai disiplin dan keprihatinan yang harus ditelan dan dijalani. Kalau daya kreatif dan semangat orang-orang yang sangat jarang seperti itu mati, karena dia berhenti berkreasi dan mencari atau karena dia betul-betul mati, maka akan sangat sulit dicari penggantinya, dan daya kreatifitas dan semamgat mencari itupun, akan mati bersamanya. Kalau seperti itu, bahkan negara sebesar Majapahitpun bisa hancur bahkan anak bangsa ini sampai harus menelan kepahitan, kegetiran, dan penderitaan selama berabad-abad, karena ditinggalkan seorang Adityawarman. Dan sejak merdekapun, bangsa ini sudah memiliki karma seperti itu, karena siapa sesungguhnya yang mencetuskan Pancasila? Siapa yang mencetuskan bentuk negara Republik? Dari mana atau dari siapa Sukarno terinspirasi soal Nasakom? Siapa orang-orang yang betul-betul menopang dan berjasa mempertahankan bangsa dan negara ini, semua itu patut dikaji dan dikoreksi ulang. Jangan sampai ke depannya bangsa ini hanya mengulang untuk jatuh di lubang yang sama. Berhenti mengagumi, apalagi memuja pencomot dan penjiplak semacam itu, karena akan seperti itulah dirimu jika mengagumi apalagi memuja orang seperti itu. Kalau kamu nekat menjadi seperti itu, maka bersoaplah menerima kehancuranmu dan bersiaplah jadi penghancur masyarakat dan anak cucumu dan anak cucu semua masyarakat.
Dan sebagai penutup, Budaya Kali dan Budaya Sendang Majapahit merupakan Budaya Asli dan Karakter Asli atau Jati Diri bangsa dan negara ini. Saya pribadi yang menemukan hipotesa ini dan seluruh anak bangsa Indonesia patut sangat berterima kasih pada orang Filiphina yang terus menjaga dan melestarikan Kali Majapahit, juga patut berterima kasih pada orang-orang seperti Bruce Lee, Filippe Rhee, Silvester Stalon, dan semua orang yang ikut mengangkat dan melestarikan Kali Majapahit. Tapi bagaimanapun juga, Kali Majapahit sudah dibuang oleh anak bangsa ini dan ditemukan dan dilestarikan oleh orang Filiphina selama berabad-abad sengga pantas kalau Kali Majapahit sudah jadi milik mereka. Karena itu, anak bangsa ini sekarang, hanya bisa ikut nguri-nguri dan melestarikannya, serta numpang menggunakan juga, karena Kali Majapahit sekarang, sudah jadi seperti meriam dan senapan yang sangat diperlukan untuk ikut berkiprah dan tak ketinggalan jaman di dunia internasional. Pada saatnya nanti, barangkali Pencak Silat yang bersih dari klenik dan syirik yang akan banyak mewarnai jagad perfileman dan warna bidang-bidang yang lain, tapi di dekade ini, mungkin juga pada dekade-dekade berikutnya adalah giliran Kali Majapahit, Escrima, atau Arnis yang sejatinya merupakan salah satu jenis dari jurus-jurus dalam Pencak Silat, yang disebut ilmu Lengan Seribu. Tapi tentu saja, sebagai yang bukan pemilik Kali Majapahit, karakter khas orang Indonesia yang terhormat dan bermartabat adalah cenderung memodifikasi, menginovasi, dan mengembangkan atau tidak mencomot dan menjiplak begitu saja budaya dari luar dengan tetap mengakui bentuk asli dan asal inspirasinya dari mana. Maka dari itu, saya racik, saya susun, atau saya buat Kali Majapahit Muslim dengan naungan besar Budaya Kali dan Budaya Sendang Majapahit Muslim. Yang mana, baik Budaya Kali maupun Budaya Sendang Majapahit Muslim, Insyaallah belum ada di dunia, meskipun di barat /Eropa sudah ada yang menyebut Kali Culture atau Budaya Kali. Kalau istilah Budaya Sendang, Insyaallah belum ada di manapun. Istilah ini, terinspirasi dari nama pondok pesantren di Kediri, yaitu Pondok Pesamtren Kedung Lo Al Munadhoroh. Di mana, saya pernah sedikit mencicipi toriqoh Ponpes itu, meskipun saya bukan pengikut toriqoh itu, karena tidak sepaham dalam banyak hal. Adapun arti dari Kedung Lo adalah Telaga atau Sendang Ilmu. Dari kata Kedung yang artinya Sendang atau Telaga dan Lo artinya Ilmu. Sekian, terima kasih. Dalam video You Tube berikut adalah contoh-contoh jurus Kali Majapahit Muslim jurus 5 atau Jurus Merampok Rumah Yang Terbakar dan Jurus 4 atau Jurus Membuat Musuh Kelelahan Sambil Menghemat Tenaga
Adapun soal Kali dan Sendang Majapahit, khususnya Kali Majapahit yang jadi topik bahasan kali ini, merupakan satu budaya yang harus dibersihkan dari unsur-unsur klenik atau kerja sama dengan jin, karena Kali dan Sendang merupakan Budaya Tauhid dan Intelektual. Ketika Budaya Kali dan Sendang tidak dibersihkan dari unsur klenik dan kerja sama dengan jin, maka Kali dan Sendang akan menjadi mati dan padam, bahkan bisa jadi bencana bagi kelangsungan hidup umat manusia. Makanya, yang cenderung tertarik, memakai, dan terus mempertahankan dan membesarkan Bela Diri Kali Majapahit adalah para pemuka orang-orang modern, khususnya dalam dunia perfilman. Tapi di jaman modern kemarin, Kali Majapahit, Escrima, atau Arnis hanya menjadi bela diri figuran seperti dalam film Rambo 3, film Best Of The Best Filippe Rhei, juga Film-film Bruce Lee. Namun di masa atau di Era Post Modernisme di abad 20an, Kali Majapahit, Escrima, atau Arnis walaupun hanya jadi bela diri figuran, corak, karakter, dan soul film itu jadi cenderung bernapaskan bela diri Kali Majapahit yang cenderung cepat, mematikan, dan penuh dengan trik dan strategi. Untuk lebih jelasnya, silakan dicek dan diamati dalam film-film yang saya tampilkan di blog ini, dalam sub bab "Kaliwood".
Sementara itu, ketika kita mengamati perfilman Indonesia dewasa ini, film-film action anak negeri ini cenderung jadi film-film komedi, film-film yang patut ditertawakan dengan actionnya yang konyol dan dangkal. Sehingga unsur komedinya jadi tidak kena, actionnya sangat amburadul dan dangkal. Beda sekali dengan film-film Jacky Chan, yang cenderung jadi sangat menarik dan prestisius, karena komedi hanya dijadikan sedikit penghias, sedang actionnya benar-benar matang. Sehingga, terasa tidak jadi film-film kacangan atau terlalu tampak dibuat-buatnya. Tapi memang dari awal film-film lama Jacky Chan memang berkarakter film action comedy. Kalau film comedy action atau film yang cenderung komedi tetapi actionnya tetap dapat satu contohnya adalah film The Masknya Jim Carrey atau Steven Chow, baik kungfu Soccer maupun Kungfu Hustel, juga Kungfu Dunk Jay Chou. Tapi semua film itu memiliki karakter yang sangat kuat, baik dalam unsur komedi maupun unsur actionnya. Meskipun action atau komedinya hanya merupakan penghias, tetapi tetap digarap secara total, betul-betul didasari oleh kemampuan dan keahlian yang mumpuni. Sehingga ketika seorang yang terlihat konyol, ternyata jago bela diri, hal itu jadi tampak paradog dan menggelitik rasa atau decak kagum, yang hal itu merupakan nilai seni tersendiri. Atau sebaliknya, ketika seorang jagoan ternyata bisa bersikap konyol, lucu, ataupun cenderung simpatik dan romantis dalam genre film yang lain, itu juga nilai seni tersendiri. Makanya, film-film itu jadi punya bobot dan terasa menarik untuk dinikmati. Kalau penggarapan soal skill dan keahlian seperti itu digarap serius, apalagi detailnya dapat, maka semakin menarik dan tidak membosankan film itu untuk dinikmati. Contoh penggarapan detail yang bagus adalah seperti di film The Last Samurai, Troy, juga film-film fantasi The Avenggernya Marvel. Dulu, film-filmnya Rhoma Irama, juga bisa menghadirkan satu paradog semacam itu, di mana seorang musisi, orang romantis, ternyata jago betul bela diri. Kalau film-film yang lain, yang cenderung legend, seperti film-film Benyamin Syuaib, film-film Rano Karno, atau film-film Warkop, mereka lebih baik cari jalan aman, tetap pada jalur komedi atau jalur roman tanpa maruk memasuk-masukkan unsur action, karena sudah pasti tidak tergarap karena kurang skill di situ. Dalam beberapa film mereka, sepeti Benyamin yang menggarap film Janggo atau Warkop yang menggarap film Depan Bisa Belakang Bisa, mereka tetap menonjolkan komedinya, di mana di situ mereka berperan sebagai orang tak bisa bela diri, tetapi dihadapkan pada situasi harus berkelahi, sehingga tetap kekonyolannya yang cenderung dishoot dan ditonjolkan. Maka film itu tetap jadi film komedi, bukan film action, comedy action, ataupun action comedy.
Sementara, kalau film-film dewasa ini, cenderung tanggung, memaksakan diri jadi film action comedy seperti punya Jacky Chan atau Comedy Action seperti punya Steven Chow, tapi baik action maupun comedynya digarap setengah-setengah tak disari oleh skill yang memadai, sehingga konsentrasi dan fokusnya pecah, comedynya ngambang, actionnyapun ngambang, actingnya amburadul dan tak berkarakter, Jadinya secara garis besar, film-film Indonesia saat ini membosankan dan tak berkualitas, buang-buang waktu dan biaya, tapi tidak memuaskan. Barangkali, akan ada yang berkata The Raid film Ikko Uways dkk merupakan film box office dunia. Untuk film itu pengecualian, karena film itu digarap sineas atau sutradara luar negeri. Maka sebagaimana film-film luar negeri, penggarapannya fokus menonjolkan action dan pemain-pemainnya pun memang berskill bela diri mumpuni. Orang Indonesia sendiri, tidak bisa menggarap dan berpikir semacam itu. Padahal, sebetulnya sangat berlimpah bahan untuk diangkat di negeri ini.
Jadi, sebetulnya kendala perfilman di Indonesia ini hanya soal kurang fokus dan kurang explorasi terhadap suatu skill dan peranan. Makanya, rata-rata film Indonesia cenderung jadi kacangan dan membosankan. Bahkan kalau diamati dalam perkembangan perfilman akhir-akhir ini, film-film Indonesia seolah jadi film-film yang kurang ide, skill, dan kreatifitas. Banyak film-film yang coba mengangkat film-film legend di masa lalu seperti film Benyamin, film Warkop, juga film Ateng, Naga Bonar, Wiro Sableng, dan nantinya mungkin mereka akan menggarap film Si Doel dengan pemeran selain Rano Karno atau film-film Sophan Sophian dan Widyawati, atau film-film Roy Martin. Di dunia Sinetron saja, sudah ada yang ingin mengulang kesuksesan Roman Picisan dan Pernikahan Dini. Tapi baik film-film garapan ulang atau adaptasi itu, maupun sinetron-sinetronnya, semua gagal dan tetap jauh lebih bagus garapan awalnya. Soal mengadaptasi film-film atau sinetron-sinetron lama, kita patut menengok pada serial-serial China atau Mandarin seperti Trilogi Pendekar Rajawali yang digarap berulang-ulang, tetapi detail dan pernak-perniknya semua dapat. Juga film maupun serial Tree Kingdoms. Yang mana, antara satu garapan dengan garapan yang lain, tetap sama tetapi dengan pernak-pernik yang berbeda dan semua menunjukkan keunikan-keunikan tersendiri. Sehingga, walaupun nonton cerita yang sama, orang tetap tidak bosan, sangat menikmati, bahkan terus tertarik untuk menontonya secara berulang-ulang. Dulu, di Indonesia ini punya film Lupus yang disinetronkan, yang mana antara film dan sinetronnya yang dibintangi Irgi Ahmad Fahrezy sama-sama bagus dan menarik. Yerus juga ada sinetron Mahkota Mayangkara yang digarap ulang jadi Tutur Tinular. Yang mana keduanya juga sama-sama bagus dan garapan ulangnya malah lebih bagus. Kalau Kisah Gunung Merapi adalah contoh yang gagal, karena filmnya tetap lebih bagus.
Jadi sekali lagi, patut dijadikan catatan utama, bahwa kendala dunia perfilman Indonesia adalah karena kurang fokus dan kurang ekplore terutama dalam soal skill. Bisa dibilang juga, karena maunya orang yang instan-instan dan cepat saji. Makanya, kreatifitasnya jadi mandeg dan mati. Tapi bukan hanya itu saja yang menyebabkan kemandegan dan matinya kreatifitas. Kendala utama yang lain, yang ini merupakan sebab sepele, tetapi menjadi sebab utama matinya segala hal, yaitu adanya kecenderungan bangga diri, kesombongan, dan tidak adanya kerendahan hati. Ini adalah penyakit yang sangat kronis. Penyakit ini sama bahayanya dengan syirik bersekutu dengan jin. Kalau orang sudah terkena dua penyakit ini, yang mana bersekutu dan bekerja sama, bahkan sekedar mendekati jin meeupakan syirik besar, kalau kesombongan dan kebanggaan diri merupakan syirik halus bersama penyakit hati yang lain seperti riya' juga iri dan dengki. Baik syirik besar maupun syirik halus, keduanya sama-sama menyebabkan kebodohan dan dicabutNya Petunjuk dan Rahmat Tuhan yang merupakan Sumber dari segala sumber inspirasi dan kreatifitas. Beda antara syirik besar dan syirik halus adalah kalau syirik besar biasanya langsung tampak, cenderung menimbulkan akibat buruk dan penderitaan sesuai kadarnya, kalau syirik halus akibatnya cenderung masive, tetapi sesuai kadarnya juga, karena kalau penyakit hati begitu kronis, sejatinya orang itu sebenarnya juga bersekutu bahkan menghamba pada jin juga tanpa disadarinya.
Lalu, sebab utama yang lain, yang jadi sebab kemandegan dan matinya inspirasi dan kreatifitas adalah kurangnya penghargaan terhadap ide. Jangankan penghargaan, perhatian terhadap ide-ide segar, terobosan-terobosan, dan pembaruan-pembaruan pun, sangat kurang. Giliran ada yang memperhatikan, maunya hanya mencomot dan memakai ide itu, entah itu sedikit dimodifikasi, dijiplak, atau dicomot begitu saja tanpa ada penghargaan terhadap pencetus atau yang melahirkannya. Saya sendiri, sejak bertahun-tahun lalu, telah menemukan satu sistem kecerdasan dan model pengajaran yang komplit. Penemuan saya itu, kini telah dijadikan instansi pendidikan dan sekolah bertaraf internasional secara diam-diam. Tak disangka, karena dinamika kehidupan, saya seperti Digiring untuk mengetahui pencomotan itu. Bahkan saya sempat masuk dan menjadi pegawai di tempat itu. Hasilnya, percayalah pencomotan ide dan penjiplakan semacam itu, hanya akan menghasilkan instansi sampah, yang hanya melahirkan kerusakan, kekeruhan, keruwetan, dan kekotoran yang sudah ada. Biasanya yang seperti itu dikatakan sebagai tak berkah. Karena bagaimanapun, yang betul-betul tahu dan Diberi berkah dan Petunjuk tentang itu dari segala aspeknya adalah yang melahirkan. Yang memikirkan masak-masak sampai sesuatu itu lahir adalah ibunya, karena sesuatu baru bisa lahir setelah dikandung ibunya atau pembuatnya selama beberapa kurun waktu, yang kalau seorang anak selama sembilan bulan menyatu atau dalam kandungan ibunya. Karena itu, sekali lagi, pencomotan dan penjiplakan semacam itu pasti hanya akan menimbulkan penyakit dan sampah, karena tidak akan menimbulkan satu perbaikan, betapapun bagus dan prestisiusnya penemuan itu.
Demikian halnya, atau seperti itu pulalah sejatinya dengan berbagai pencomotan ide dan penjiplakan dalam hal yang lain-lain seperti dalam dunia karya dan seni. Termasuk di dunia perfilman, sastra, dan bidang-bidang yang lain. Entah cepat atau lambat, karya itu mungkin saja bisa mengangkat dan mensukseskan si pencomot dan penjiplak, tapi pasti dia akan menerima derita, kesengsaraan, dan akibat buruk lainnya, sehingga karya itu jadi tak berguna bagi dirinya, bahkan dianggap sebagai sumber petaka bagi dirinya, dan dilupakan atau diabaikan orang. Karena itu, hormatilah hak cipta dan pencetusan ide-ide kreatif serta terobosan-terobosan baru. Ajak pencetus ide itu untuk bekerja sama dalam melahirkan dan menyempurnakan ide-idenya. Atau setidaknya berikan hak-haknya dalam bentuk royalti, supaya daya kreatif dan kreasinya tetap hidup, karena memang sangat jarang orang-orang yang Dikaruniai anugerah kreatif dan sifat kerja keras dalam menemukan dan menyusun sesuatu, karena untuk bisa kreatif dan terus bekerja keras menemukan sesuatu, pasti begitu banyak pengorbanan, celaan, dan berbagai disiplin dan keprihatinan yang harus ditelan dan dijalani. Kalau daya kreatif dan semangat orang-orang yang sangat jarang seperti itu mati, karena dia berhenti berkreasi dan mencari atau karena dia betul-betul mati, maka akan sangat sulit dicari penggantinya, dan daya kreatifitas dan semamgat mencari itupun, akan mati bersamanya. Kalau seperti itu, bahkan negara sebesar Majapahitpun bisa hancur bahkan anak bangsa ini sampai harus menelan kepahitan, kegetiran, dan penderitaan selama berabad-abad, karena ditinggalkan seorang Adityawarman. Dan sejak merdekapun, bangsa ini sudah memiliki karma seperti itu, karena siapa sesungguhnya yang mencetuskan Pancasila? Siapa yang mencetuskan bentuk negara Republik? Dari mana atau dari siapa Sukarno terinspirasi soal Nasakom? Siapa orang-orang yang betul-betul menopang dan berjasa mempertahankan bangsa dan negara ini, semua itu patut dikaji dan dikoreksi ulang. Jangan sampai ke depannya bangsa ini hanya mengulang untuk jatuh di lubang yang sama. Berhenti mengagumi, apalagi memuja pencomot dan penjiplak semacam itu, karena akan seperti itulah dirimu jika mengagumi apalagi memuja orang seperti itu. Kalau kamu nekat menjadi seperti itu, maka bersoaplah menerima kehancuranmu dan bersiaplah jadi penghancur masyarakat dan anak cucumu dan anak cucu semua masyarakat.
Dan sebagai penutup, Budaya Kali dan Budaya Sendang Majapahit merupakan Budaya Asli dan Karakter Asli atau Jati Diri bangsa dan negara ini. Saya pribadi yang menemukan hipotesa ini dan seluruh anak bangsa Indonesia patut sangat berterima kasih pada orang Filiphina yang terus menjaga dan melestarikan Kali Majapahit, juga patut berterima kasih pada orang-orang seperti Bruce Lee, Filippe Rhee, Silvester Stalon, dan semua orang yang ikut mengangkat dan melestarikan Kali Majapahit. Tapi bagaimanapun juga, Kali Majapahit sudah dibuang oleh anak bangsa ini dan ditemukan dan dilestarikan oleh orang Filiphina selama berabad-abad sengga pantas kalau Kali Majapahit sudah jadi milik mereka. Karena itu, anak bangsa ini sekarang, hanya bisa ikut nguri-nguri dan melestarikannya, serta numpang menggunakan juga, karena Kali Majapahit sekarang, sudah jadi seperti meriam dan senapan yang sangat diperlukan untuk ikut berkiprah dan tak ketinggalan jaman di dunia internasional. Pada saatnya nanti, barangkali Pencak Silat yang bersih dari klenik dan syirik yang akan banyak mewarnai jagad perfileman dan warna bidang-bidang yang lain, tapi di dekade ini, mungkin juga pada dekade-dekade berikutnya adalah giliran Kali Majapahit, Escrima, atau Arnis yang sejatinya merupakan salah satu jenis dari jurus-jurus dalam Pencak Silat, yang disebut ilmu Lengan Seribu. Tapi tentu saja, sebagai yang bukan pemilik Kali Majapahit, karakter khas orang Indonesia yang terhormat dan bermartabat adalah cenderung memodifikasi, menginovasi, dan mengembangkan atau tidak mencomot dan menjiplak begitu saja budaya dari luar dengan tetap mengakui bentuk asli dan asal inspirasinya dari mana. Maka dari itu, saya racik, saya susun, atau saya buat Kali Majapahit Muslim dengan naungan besar Budaya Kali dan Budaya Sendang Majapahit Muslim. Yang mana, baik Budaya Kali maupun Budaya Sendang Majapahit Muslim, Insyaallah belum ada di dunia, meskipun di barat /Eropa sudah ada yang menyebut Kali Culture atau Budaya Kali. Kalau istilah Budaya Sendang, Insyaallah belum ada di manapun. Istilah ini, terinspirasi dari nama pondok pesantren di Kediri, yaitu Pondok Pesamtren Kedung Lo Al Munadhoroh. Di mana, saya pernah sedikit mencicipi toriqoh Ponpes itu, meskipun saya bukan pengikut toriqoh itu, karena tidak sepaham dalam banyak hal. Adapun arti dari Kedung Lo adalah Telaga atau Sendang Ilmu. Dari kata Kedung yang artinya Sendang atau Telaga dan Lo artinya Ilmu. Sekian, terima kasih. Dalam video You Tube berikut adalah contoh-contoh jurus Kali Majapahit Muslim jurus 5 atau Jurus Merampok Rumah Yang Terbakar dan Jurus 4 atau Jurus Membuat Musuh Kelelahan Sambil Menghemat Tenaga
Komentar
Posting Komentar